Selasa, 30 Desember 2008

Pendidikan Inklusi

href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CGHISYA%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_editdata.mso">

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5, Undang-undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, menyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa semua warga Negara baik yang normal ataupun yang memiliki kelainan (tidak normal) berhak mendapatkan pendidikan. Selain itu dipertegas juga dalam deklarasi dalam maupun luar negeri tentang persamaan pendidikan untuk semua kalangan ( khususnya penyandang cacat ).

Selama ini pendidikan yang kita kenal ada pendidikan umum dan pendidikan khusus bagi penyandang cacat. Mereka yang berkebutuhan khusus pada umumnya di sekolahkan di sekolah khusus yang dikenal dengan Sekolah Luar Biasa ( SLB ). Sedangkan mereka yang dianggap normal di sekolahkan di pendidikan umum.

Khusus untuk pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.

Pada umumnya sekolah-sekolah berkebutuhan khusus tidak semua kota atau tempat ada. Biasanya dalam satu kabupaten atau kecamatan atau kota ada satu sekolah khusus (SLB). Sehingga mereka yang berdomisili jauh dengan sekolah itu merasa kesulitan bisa sekolah di tempat khusus. Mereka yang dianggap mampulah yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah khusus, sedang mereka yang kurang atau tidak mampu akan kebingungan mencari untuk tempat menyekolahkan anaknya.

Sekolah khusus (SLB) biasanya menampung orang-orang yang mampu karena kecenderungan biaya masuk sekolah tersebut mahal. Hanya orang-orang yang memiliki penghasilan mampu yang bisa menyekolahkan anaknya ke SLB. Bagaimana dengan orang tua yng memiliki anak berkebutuhan khusus tetapi tidak memiliki dana/biaya yang lebih? Jarak sekolah dengan tempat tinggal jauh?

Dengan melihat kenyataan seperti ini maka para pemerhati pendidikan menyoroti harus ada tempat bagi mereka yang berkebutuhan khusus untuk sekolah. Semua warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama. Mereka juga manusia yang perlu akan pendidikan, yang butuh akan pendidikan. Untuk itulah maka dibukalah pendidikan yang bisa menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah umum atau rguler yang disebut dengan inklusi.

Pendidikan inklusi di adakan dengan tujuan mereka yang tidak bisa menyekolahkan anaknya di pendidikan khusus dengan keterbatasannya, maka berhak sekolah di sekolah umum. Teknis dan pelaksanaannya disesuaikan dengan sekolah dan kebutuhan.

Pendidikan inklusi diadakan untuk membantu anak yang berkebutuhan khusus mendapat pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa dan bagaimana tentang pendidikan inklusi akan di bahas lebih jauh dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian di latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah konsep pendidikan inklusi?

b. Bagaimanakah model pendidikan inklusi?

c. Adakah kendala dalam melaksanakan pendidikan inklusi?

1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah:

a. Untuk mengetahui konsep pendidikan inklusi.

b. Untuk mengetahui model pendidikan inklusi.

c. Untuk mengetahui adakah kendala dalam melaksanakan pendidikan inklusi.


BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah pendidikan terkini bagi mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Prinsip mendasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.

Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Menurut beberapa penganmatan sekolah model ini memiliki kelemahan yaitu anak kurang bersosialisasi karena pada akhirnya mereka akan turun atau berbaur dengan masyarakat umum, sedangkan mereka terbiasa terpisah dengan teman yang lain (normal).

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html) mengemukakan alternatif sebagai berikut:

1.Kelas biasa penuh
2.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4.Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5.Kelas khusus penuh,
6.Sekolah khusus, dan
7.Sekolah khusus berasrama.

Berdasarkan penelitian tentang pendistribusian siswa berkebutuhan khusus sekolah, di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html).

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995 dalam Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Kita telah diciptakan sederajat walaupun berbeda-beda.
Apapun jenis kelamin, penampilan, kesehatan atau kemampuan berfungsi, kita
telah diciptakan ke dalam satu masyarakat.
Penting untuk diakui bahwa sebuah masyarakat normal ditandai oleh keragaman
dan keserbaragaman – bukan oleh keseragaman.
Namun, pada kenyataannya anak-anak dan orang dewasa yang berbeda dalam
kebutuhannya dari kebutuhan kebanyakan orang telah dipisahkan dengan alasan
yang beragam untuk waktu yang terlalu lama – semua alasan tersebut tidak adil. (Skjorten,
Miriam Donath)

Dari kutipan di atas,jelaslah bahwa pendidikan untuk semua kalangan, tidak ada batasan-batasan khusus. Mereka yang menyandang cacatpun berhak mendapatkan bagian dari pendidikan itu.

Dalam 40-50 tahun terakhir upaya telah dilakukan untuk membuat agar pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi dan konvensi tingkat lokal, nasional dan internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara hanya 50-60 % anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3 % anak yang menyandang kecacatan masuk sekolah.

Melihat kembali ke dalam sejarah, beberapa perjuangan tentang pendidikan berkebutuhan khusus menyebutkan peristiwa dan publikasi berikut ini:

1948

Deklarasi Hak Asasi Manusia – termasuk hak atas pendidikan dan partisipasi penuh di masyarakat untuk semua orang – PBB

1989

Konvensi Hak Anak (PBB, diumumkan tahun 1991)

1990

Pendidikan untuk semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand, menghasilkan tujuan utama berikut ini:
- membawa semua anak masuk sekolah
- memberikan semua anak pendidikan yang sesuai
Dalam prakteknya sesungguhnya ini tidak mencakup anak-anak yang berkebutuhan khusus (UNESCO, diumumkan tahun 1991 dan 1992)

1993

Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (PBB, diumumkan tahun 1994)

1994

Penyataan Salamanca tentang Pendidikan inklusif (UNESCO diumumkan pertama tahun 1994, laporan akhir tahun 1995)

(Mengenal Pendidikan Inklusif. http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html)

Konsep-konsep baru telah diperkenalkan melalui Pernyataan Salamanca dan beberapa konsep telah diperkenalkan sebelumnya dan sejak itu. Konsep-konsep ini penting karena menggambarkan proses dan perubahaan saat ini.

Penyataan Salamanca

Dalam Penyataan Salamanca hal-hal berikut diantaranya ditekankan:

  • Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah.
  • Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelas-kelas inklusif.
  • Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual.
  • Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif
  • Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermakna bagi setiap individu
  • Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya.

Salah satu delegasi konferensi tersebut, Mr. Lindquist, yang dirinya sendiri tunanetra, mengatakan:

… bukan sistem pendidikan kita yang mempunyai hak atas anak-anak tertentu.
Tetapi sistem yang ada di negara itulah yang harus disesuaikan agar dapat
memenuhi kebutuhan semua anak (UNESCO 1994)

Berikut adalah pelajar yang mempunyai kebutuhan temporer atau permanen dikarenakan:

  • Kondisi sosial emosional, dan/atau
  • Kondisi ekonomi, dan/atau
  • Kondisi politik, dan/atau
  • Kecacatan bawaan dan/atau
  • Kecacatan yang didapat pada awal kehidupannya atau kemudian.

Dengan kata lain, kita tidak membicarakan tentang minoritas anak yang menyandang kecacatan , tetapi kita membicarakan tentang sejumlah besar anak termasuk mereka yang menyandang kecacatan. Kita membicarakan tentang sebagian besar anak yang bersekolah.

Pernyataan Salamanca juga menekankan dengan sangat jelas bahwa:

  • Semua anak dapat dididik walaupun mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat.
  • Pendidikan inklusif harus memberikan pendidikan yang akan mencegah anak-anak mengembangkan harga diri yang buruk serta konsekuensi yang dapat ditimbulkannya.
  • Pendidikan inklusif bertujuan menciptakan kerjasama bukannya persaingan.

Konsekuensi dari hal-hal tersebut di atas harus membawa perubahan penting di sekolah. Pertama-tama, ini akan melibatkan lebih banyak penekanan pada perkembangan kesadaran sosial termasuk interaksi dan komunikasi yang lebih baik dengan dan diantara siswa. Ini juga dapat mencakup penyesuaian dalam isi materi untuk membuat pendidikan lebih berarti bagi tiap siswa.

Sehingga dari beberapa keterangan di atas melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

2.2 Model Pendidikan Inklusi

Dalam pendidikan inklusi ada yang disebut model relasi kurikulum. Model relasi kurikulum adalah satu contoh alat profesional untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang relevan dengan memperhatikan pluralitas kebutuhan khusus individual setiap siswa. Model ini diarahkan pada dimensi-dimensi berikut dalam pengajaran dan pendidikan kebutuhan khusus yang praktis:

· Sebagai panduan untuk mengkaji beberapa aspek vital dan proses dalam hubungan belajar dan mengajar

· Untuk mendukung kesadaran akan inter relasi yang berkesinambungan antara aspek-aspek dan proses-proses ini

· Sebagai panduan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting, untuk menemukan sub-aspek dan proses-proses yang penting, untuk mengumpulkan pengetahuan yang relevan, dan untuk melatih keterampilan mengajar yang lazim, yang bertujuan untuk memenuhi pluralitas kebutuhan pendidikan khusus dan kapasitas para siswa di sekolah inklusif

· Sebagai panduan untuk perencanaan jangka panjang serta jangka pendek

· Sebagai kerangka sistem dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi situasi belajar/mengajar bagi individu siswa maupun kelompok dan seluruh kelas.

Ada delapan bidang atau aspek utama dalam kurikulum yang saling berkesinambungan dan juga terkait dengan bakal pengguna alat profesional, yaitu guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus. Aspek-aspek utama KBM itu adalah:

· Siswa

· Faktor kerangka kerja

· Tujuan

· Isi

· Strategi dan metode serta pengorganisasian

· Asesmen dan evaluasi

· Komunikasi

· Kepedulian

Gambar: Model hubungan kurikulum dengan beberapa aspek PBM yang penting

Gambar: Model hubungan kurikulum dengan beberapa aspek PBM yang penting

Dari aspek-aspek di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Siswa
Siswa atau pelajar tentu saja adalah pengguna utama pendidikan, dan oleh karenanya merupakan fokus utama. Pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap siswa, kapasitasnya, kemungkinan dan kebutuhan mentoringnya harus dilihat dalam kaitannya dengan pendidikan yang sedang ditempuhnya.
Pandangan ini sesuai dengan tradisi pendidikan klasik yang berpusat pada anak.

Melihat kondisi siswa maka dalam perkembangan kearah inklusi menuntut adanya perubahan berikut ini:

  • Dari pendidikan yang berpusat pada disiplin ilmu yang sempit menuju pendidikan yang berpusat pada pelajar .
  • Dari asesmen yang sempit terhadap hasil belajar siswa menuju asesmen yang luas terhadap semua aspek situasi belajar/mengajar, proses dan hasilnya.

Sebuah pemahaman pendidikan profesional tentang siswa seyogyanya didasarkan atas pengetahuan pada tingkatan berikut ini:

· Pengetahuan umum tentang belajar dan perkembangan

· Pengetahuan tentang strategi belajar bagi kecacatan tertentu

  • Pengetahuan tentang strategi belajar, minat dan cara berkomunikasi individu (dimodifikasi dari Nafstad 1993 dalam Johnsen, Berit H)

b. Faktor kerangka kerja

Faktor kerangka kerja disini menetapkan batasan-batasan dan memberikan arahan. Akan tetapi, faktor-faktor ini juga membuka jalan terhadap kemungkinan-kemungkinan. Oleh karena itu, faktor kerangka kerja difokuskan sebagai salah satu bidang utama dalam model relasi kurikulum.

Bangunan sekolah dan lingkungan sekitarnya termasuk ke dalam faktor kerangka kerja fisik. Dengan kata lain factor kerangka kerja bias diartikan sebagai sarana prasarana dalam pendidikan inklusi ini. Faktor kerangka kerja ini bisa mempengaruhi pendidikan dan menciptakan hambatan bagi individu siswa dan bagi kelas dan sekolah secara konkret.

c. Tujuan

Tujuan disini maksudnya adalah bahwa sekolah memiliki tujuan arah jangka pendek maupun jangka panjang untuk kemajuan pendidikan. Selain itu jelas tujuan disini disesuaikan dengan undang-undang dalam pendidikan dan dokumen kebijakan yang lain.

d. Isi

Terdapat hubungan yang erat antara tujuan dan isi pendidikan. Isi pendidikan dapat dipahami sebagai substansi dan nilai yang diharapkan dapat membentuk siswa menjadi orang yang berpendidikan. Beberapa kurikulum nasional menggariskan isi pendidikan itu secara umum, memberikan ruang untuk fleksibilitas kepada sekolah-sekolah setempat dan tim guru, tetapi ada pula kurikulum yang memberikan arahan secara rinci. Pada tingkat mikro, merupakan kewajiban profesional guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus untuk menjembatani kesenjangan antara pernyataan kurikulum resmi dan situasi pembelajaran yang konkret di tiap kelas.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, kriteria umum untuk kegiatan belajar yang berkualitas sebagai berikut:

· Konsisten dengan seluruh program pengajaran

· Cukup sesuai dengan tujuan

· Bervariasi dan serba ragam

· Adaptif terhadap individu dan kelompok siswa

· Seimbang dan kumulatif

· Relevan dan bermakna

· Terbuka terhadap integrasi optimal dengan kegiatan belajar lain

· Terbuka terhadap pilihan siswa.

e. Strategi dan metode serta pengorganisasian

Tidak hanya menyangkut isi, tetapi juga metode mengajar dan pengorganisasian harus dipertimbangkan dalam merencanakan kegiatan kelas dan kelompok yang menggunakan pluralitas strategi belajar individual. Siswa belajar melalui bermacam-macam strategi, kegiatan, media dan metode.

Ada beberapa strategi belajar siswa yang berbeda, tergantung minat dan kreasinya masing-masing. Tiap orang memiliki tipe dan gaya belajar sendiri-sendiri. Sehingga untuk mengatasi keragaman strategi belajar individual yang berbeda-beda, guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus perlu mengadaptasikan lingkungan belajar sehingga tiap siswa dapat mengembangkan dan menggunakan beberapa strategi dan metode belajar yang sesuai dengan kebutuhannya.

Pertimbangan metodologi sangat berpengaruh terhadap pemilihan materi dan peralatan. Materi belajar dan peralatan dapat berupa berbagai macam hal, seperti literatur, kertas dan pensil, komputer dan program-programnya, video, bahan untuk melukis, menggambar, menjahit, memasak dan melakukan latihan fisik. Siswa-siswa tertentu membutuhkan bahan belajar khusus dan peralatan khusus. Pemilihan isi dan penerapan metode sangat berkaitan dengan pengorganisasian kelas.

Lingkungan belajar yang klasik adalah ruang kelas. Dalam literatur tentang inklusi, menciptakan ruang kelas yang aksesibel bagi siswa yang berkebutuhan khusus itu diberikan penekanan. Di samping itu terdapat berbagai kemungkinan lain untuk menciptakan lingkungan belajar, seperti berkebun, darmawisata, kunjungan belajar dan praktek lapangan (Klafki 1999; Smith 1998; Putnam 1993 dalam Johnsen, Berit H).

Usia adalah satu-satunya kriteria untuk penempatan kelas. Akan tetapi, meskipun ini merupakan prinsip fundamental yang mendasari ide inklusi, tidak berarti bahwa kelas sebagai satu entitas organisasional tidak dapat disentuh dalam wacana pendidikan. Adalah bijaksana untuk memandang bahwa ruangan kelas tidak selalu merupakan bagian dari sekolah.

Sekolah inklusif seyogyanya terbuka untuk banyak “kegiatan di dalam dan di luar kelas” . Idealnya harus merupakan kegiatan sehari-hari yang alami bahwa siswa secara individual atau kelompok keluar kelas untuk melakukan kegiatan belajar lainnya. Fleksibilitas dan keterbukaan dalam pengorganisasian kelas seperti itu akan memperkaya lingkungan belajar bagi semua siswa. Ini akan membuka jalan untuk kemungkinan-kemungkinan belajar hal yang spesifik dan mendukung upaya pengadaptasian pada bermacam-macam minat dan tingkat penguasaan individual. Alasan penting lainnya untuk “kegiatan di dalam dan di luar kelas” adalah bahwa anak dan remaja membutuhkan ruang untuk tumbuh dan belajar serta berkembang. Bahkan ruang kelas yang terbaguspun terlalu kecil untuk lingkungan belajar yang ideal. Dengan kata lain ruang yang digunakan memberikan rasa aman, nyaman, kondusif untuk para siswa.

f. Assessmen
Asesmen dan evaluasi dimaksudkan untuk mengumpulkan, menafsirkan dan merenungkan berbagai informasi untuk menyesuaikan tindakan ke arah tujuan masa depan. Asesmen dan evaluasi pendidikan berisikan pertimbangan-pertimbangan dan penilaian mengenai lingkungan belajar dan mengajar, proses dan hasilnya serta hubungan kontekstualnya.

Dalam pendidikan kebutuhan khusus, asesmen dan evaluasi dimaksudkan untuk menarik perhatian pada hambatan-hambatan belajar yang spesifik, berbagai kemungkinan lingkungan belajar/mengajar beserta pengadaptasiannya, proses dan hasilnya, serta hubungan kontekstualnya. Secara tradisional, siswa menjadi fokus asesmen.

Asesmen juga mempunyai peran penentu bila keputusan dibuat mengenai penempatan anak di luar kelas reguler, di kelas atau unit khusus, di sekolah khusus atau bahkan di luar sistem pendidikan, seperti di lembaga-lembaga sosial atau kesehatan. Asesmen yang dimaksudkan untuk segregasi seperti ini Cenderung masih dilakukan di semua negara, meskipun ada tujuan nasional dan internasional untuk mempromosikan keragaman dalam sekolah inklusif.

Menurut prinsip inklusi dan ideologi yang mendasari model relasi kurikulum yang diterapkan di sini, tujuan asesmen dan evaluasi adalah bukan untuk memberikan nilai ataupun untuk menempatkan siswa dalam lingkungan terpisah. Sebaliknya, dibanding asesmen tradisional, asesmen ini sangat fleksibel dan dinamis.

  • Ekstensif karena mencakup lebih dari sekedar mengases hasil belajar siswa.
  • Fleksibel karena bentuk dan isi asesmen seharusnya diadaptasikan dengan individu siswa serta kelas dan sekolah.
  • Dinamis karena asesmen dimaksudkan agar dilakukan dalam dialog antara guru reguler, guru pendidikan kebutuhan khusus, siswa dan orang tua.

Terdapat bermacam-macam metode dan pendekatan asesmen, baik dalam pendidikan tradisional maupun dalam pendidikan kebutuhan khusus. Siswa, orang tua dan guru reguler serta guru pendidikan kebutuhan khusus yang bekerja bersama setiap hari merupakan unsur yang paling tepat untuk mengases dan mengevaluasi proses belajar dan mengajar. Akan tetapi, dialog dengan pendukung eksternal yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang yang relevan dapat memberikan pemahaman baru yang lebih mendalam sehingga akan menghasilkan pendekatan-pendekatan belajar/mengajar alternatif.

Contoh asesmen dalam seting kelas:

· Daftar cek

· Dialog dengan siswa

· Observasi

· Logbook atau buku harian

· Hasil kerja siswa

· Tes saringan

· Portfolio

Contoh asesmen individual:

· Wawancara dan percakapan

· Angket

· Evaluasi diri siswa

· Asesmen sebagai bagian dari mediasi

· Tes pencapaian prestasi

· Tes kemampuan atau penguasaan tertentu

Sebagaimana telah disebutkan, untuk menjamin bahwa pendidikan diadaptasikan Secara individual, kurikulum kelas harus diases dan direvisi dalam kaitannya dengan kurikulum individual untuk semua siswa di kelas. Ini tidak berarti bahwa prinsip-prinsip pendidikan yang tercantum dalam undang-undang dan dokumen kebijakan diabaikan, karena prinsip-prinsip itu diberi tempat di dalam model kurikulum ini dalam dua bidang utama, yaitu ‘faktor kerangka kerja’ dan ‘tujuan’. Akan tetapi, titik awal atau garis dasar untuk asesmen dan revisi kurikulum kelas itu adalah kebutuhan pendidikan siswa, sehingga arahnya adalah yang disebut “bottom-up”. Ini berlawanan dengan perencanaan kurikulum kelas reguler yang tradisional, yang didasarkan atas perspektif top-down (Johnsen 1998).

g. Komunikasi
Dua aspek utama yang lainnya dari model relasi kurikulum ini, yaitu komunikasi dan kepedulian, mewakili pandangan pendidikan yang lebih luas, dibanding dengan aspek-aspek utama pendidikan tradisional yang telah disajikan. Kedua aspek ini ditempatkan di tengah-tengah model, untuk menunjukkan bahwa komunikasi dan kepedulian merupakan bagian yang implisit dari setiap aspek kurikulum sejak awal hingga akhir proses perencanaan, implementasi, evaluasi, revisi, implementasi lagi, dan seterusnya dalam proses pendidikan.

Tanpa komunikasi tidak akan ada pendidikan, meskipun adaptasi isi, metode dan pengorganisasiannya tampak memenuhi syarat dan relevan. Komunikasi adalah keterampilan yang dibangun berdasarkan pengetahuan dan sensitifitas manusia.

Ada beberapa factor yang berhubungan dengan komunikai dalam tahapan ini, diantaranya:

· Siswa belajar melalui interaksi dengan sesama manusia dan lingkungannya

  • Bahasa dan komunikasi merupakan alat yang sangat penting dalam belajar dan perkembangan kognitif
  • Orang tua, guru dan teman sebaya dapat berfungsi sebagai mediator dan mitra wacana dalam proses pengajaran dan pembelajaran bersama.

Penguasaan komunikasi terkait dengan aspek kognitif, linguistik, budaya, fisik, dan juga aspek teknologi. Pertimbangan-pertimbangan khusus harus dibuat sehubungan dengan anak-anak yang berkebutuhan dan berkesulitan khusus dalam komunikasi. Kesulitan komunikasi dapat timbul karena hambatan budaya serta instruksional dan hambatan individual. Misalnya di beberapa negara kebanyakan anak harus belajar membaca dalam bahasa kedua. Konsekuensinya biasanya adalah keterlambatan, dan untuk anak-anak tertentu mengakibatkan kesulitan yang parah, dalam belajar membaca dan berkomunikasi dalam bahasa tulis.

h. Kepeduliaan

Kepedulian adalah aspek utama lainnya yang sangat penting untuk proses pendidikan secara keseluruhan. Seperti komunikasi, aspek ini mencerminkan perluasan pemahaman profesional yang lebih luas dibanding disiplin ilmu tradisional yang terbatas atau pendidikan yang terkait dengan pengetahuan dan keterampilan. berbagai hambatan dan kemungkinan akan kondisinya yang traumatis. kepedulian adalah suatu bentuk hubungan, yang berakar pada kesediaan untuk menerima, keterkaitan dan sikap responsif dari yang memberikan kepedulian maupun yang menerima kepedulian. Kepedulian terkait dengan pengakuan dari orang yang menerima kepedulian tentang adanya kebutuhannya yang konkret. kepedulian secara konkret, sedangkan kaum pria tampaknya lebih memfokuskan pada prinsip-prinsip hak azasi manusia yang abstrak.

Kepedulian dimanifestasikan dalam tindakan konkret pada saat kita sebagai guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus berinteraksi dengan individu siswa dan kelas,dalam memilih materi, metode dan pengorganisasian kelas, dan dalam cara kita melakukan asesmen dan memberi feedback kepada siswa kita tentang pekerjaan dan kemajuannya. Berikut ini adalah beberapa contoh kegiatan untuk meningkatkan kepedulian dalam interaksi dengan individu siswa serta seluruh kelas:

  • Memberi dorongan dan berpartisipasi dalam kegiatan bermain dengan siswa

· Mendengarkan siswa

· Berbagi pengalaman pribadi dengan siswa

  • Menciptakan kesempatan untuk mencurahkan dan membahas perasaan, misalnya melalui kegiatan bermain dan melalui berbagai kegiatan kreatif, seperti menggambar, melukis, drama dan bermain peran, membaca literatur dan diskusi, menulis logbook, buku dialog dan essay.
  • Memberikan dukungan kepada siswa yang telah mengalami kekecewaan, peristiwa traumatis atau kehilangan
  • Mendukung siswa untuk mengembangkan strategi penguasaan dan coping yang positif
  • Meningkatkan rasa percaya diri melalui berbicara kepada diri sendiri dan strategi-strategi pemberdayaan lainnya

· Menunjukkan kepercayaan kepada siswa.

Sebagai guru reguler dan guru pendidikan kebutuhan khusus, kita mempunyai kewajiban etik profesional untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak siswa kita atas pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusif.

2.3 Kendala dalam Pendidikan Inklusi

Ada beberapa kendala dalam menjalankan program inklusi, diantaranya adalah:

1. Masih terjadi diskriminasi oleh penyelenggara pendidikan yang ditujukan kepada penyandang cacat sperti yang terjadi di Universitas Pasundan pada tahun 2006 di mana satu calon mahasiswa ditolak kuliah di universitas tersebut karena mengalami kebutaan (Pikiran Rakyat, 24 Desember 2008).

2. Masih sedikit penyelenggara pendidikan yang menerapkan program pendidikan inklusi (yakinku.wordpress.com)

3. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk menunjang pendidikan inklusi (yakinku.wordpress.com)

4. Kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus rendah. Begitu pula masyarakat yang tidak banyak berempati kepada keberadaan mereka (Bernas, April 2008)

5. Guru-guru di sekolah regular tidak dididik secara khusus untuk menangani anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka tidak dapat bersekolah regular, sedangkan sekolah khusus jumlahnya sangat minim.

Kendala-kendala tersebut dapat menghambat anak untuk mendapat pendidikan. Sehingga tujuan pemerintah wajib belajar Sembilan tahun akan mengalami hambatan. Sehingga Pro kontra terhadap pendidikan ini ada. Diantaranya yang pro terhadap inklusi adalah:

1. Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;

2. Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;

3. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;

4. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;

5. Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.

Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:

1. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;

2. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;

3. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;

4. Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.

BAB 3

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua warga Negara berhak mendapatkan pendidikan baik yang berfisik normal maupun yang tidak normal (cacat). Mereka yang berkebutuhan khusus dapat mengikuti pendidikan di sekolah regular bergabung dengan teman ebaya lainnya yang normal tanpa adanya perbedaan. Pendidikan seperti ini disebut dengan pendidikan inklusi.

Dengan adanya penidikan inklusi, pro kontra terhadap penyelenggaraan ini muncul. Pro kontra disinipun pada akhirnya untuk kepentingan anak berkebutuhan khusus agar mendapat pendidikan yang layak dan benar-benar berguna bagi dirinya maupun bangsa.

http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html

http://www.slbn-cileunyi.sch.id/2008050133/mengenal-pendidikan-inklusif-2/2.html