Senin, 20 Oktober 2008

Belajar Dari Kebijakan Pendidikan Tempo Doeloe

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
TEMPO DOELOE

Oleh Suparlan *)

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran
(James Thurber)

Siapa yang tidak dapat memberikan lebih banyak daripada yang ia terima
adalah nol besar dan telah lahir dengan sia-sia
(Multatuli)

Semua keberhasilan agenda reformasi pendidikan,
pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang berada di front terdepan, yaitu guru. Hak-hak guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat, dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam reformasi
(Mohammad Surya, Ketua Umum PB PGRI)

Pertama-tama penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada almarhum Dedi Supriadi yang telah berhasil menjadi editor penulisan buku Guru di Indonesia, yang penulisan buku itu didukung sepenuhnya oleh Direktorat Tenaga Kependidikan. Di dalam buku itu telah dibahas cukup lengkap tentang sejarah kebijakan pendidikan di Indonesia sejak zaman kolonial sampai dengan era reformasi. Tulisan Dedi Supriadi dalam bab pendahuluan buku itu telah mengingatkan kembali keinginan penulis untuk mempelajari tentang kaitan antara masalah rendahnya mutu pendidikan di negeri tercinta ini dengan kebijakan pendidikan yang telah diambil selama ini.

Mungkinkah kebijakan pendidikan di negeri ini salah arah dan sasaran? Itulah pikiran-pikiran yang kadang muncul di benak penulis sejak lama. Bahkan sejak penulis berada di Malaysia hampir selama lima tahun dengan banyak informasi tentang ragam kebijakan pendidikannya.

Dua macam kutub kebijakan pendidikan

Dedi Supriadi telah mengambil kesimpulan bahwa kebijakan pendidikan yang pernah diambil pada setiap masa selalu diharapkan pada dua kutub yang berlawanan. Pertama, kebijakan pendidikan elitis. Kebijakan pendidikan elitis adalah kebijakan yang arah dan sasarannya terbatas untuk kepentingan orang-orang yang terbatas, misalnya kaum priyayi. Hal itu diambil karena berbagai macam pertimbangan. Mungkin pertimbangann dana, mungkin aspek teknis pelaksanaan, aspek politis, dan aspek lainnya. Kebijakan tentang Sekolah Rendah pada masa kolonial, sebagai contoh, lebih diperuntukkan bagi kaum priyayi, bukan untuk semua rakyat pribumi (inlander). Melalui kebijakan inilah Ki Hajar Dewantara memperoleh kesempatan dapat bersekolah di ELS, atas jasa baik Tuan Abendanon. Kebijakan ini telah dipertanyakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang ketika itu masih berumur sekitar 7 tahun. ”Mengapa Sariman (teman bermain Ki Hajar Dewantara) tidak dapat ikut sekolah, Ayahanda?”, tanya Suwardi Suryaningrat kepada Ayahanda. ”Sariman itu orang kebanyakan. Jadi ia tidak boleh bersekolah seperti kamu”, begitulah kira-kira jawab RM. Suryaningrat kepada putranya Suwardi. Meski akhirnya Ki Hajar Dewantara masuk juga ke sekolah itu bersama dengan anak orang-orang Belanda, dalam benaknya terbesit rasa ketidakadilan. Ki Hajar Dewantara bersumpah untuk membantu pendidikan Sariman dan rakyat jelata seperti Sariman, dan janji itulah yang telah terwujud dengan Perguruan Taman Siswa, dan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Ya, kebijakan pendidikan seperti itulah yang dimaksud dengan kebijakan pendidikan elitis. Ketika itu, Belanda tidak mau repot secara teknis operasional mengurus banyak penduduk pribumi yang 100% buta huruf. Belanda ketika itu juga tidak mau membelanjakan uang yang banyak untuk itu, meskipun uang itu mereka telah peras dari bumi tumpah darah orang-orang pribumi.

Kedua, kebijakan pendidikan populis, yakni kebijakan yang arah dan peruntukannya bagi rakyat banyak. Sebagian orang Belanda di Indonesia saat itu pun banyak yang menginginkan adanya kebijakan pendidikan yang populis. Bahkan seorang keturunan Belanda bernama Multatuli sangat geram dengan sikap Belanda yang hanya mengambil kebijakan untuk kaum priyayi. Multatuli mengetahui bahwa kekayaan yang telah diperas dari bumi Nusantara sudah demikian besarnya. Tetapi, masih sangat sedikit yang telah dikeluarkan untuk mereka. Itulah sebabnya Multatuli menyatakan dengan geram bahwa ”Siapa yang tidak dapat memberikan lebih banyak daripada yang ia terima adalah nol besar dan telah lahir dengan sia-sia”. Kritik terhadap kebijakan pendidikan yang elitis, dan ditambah dengan kritik terhadap rencana peringatan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda, telah melahirkan kebijakan yang lebih moderat, yakni Politik Etis, atau Politik Balas Budi. Salah satu pemrakarsa kebijakan seperti itu adalah Van Deventer dengan Triloginya, yakni (1) irigasi, (2) migrasi, dan (3) edukasi. Kebijakan seperti ini dikenal dengan kebijakan pendidikan moderat.

Dalam konsep, kebijakan pendidikn ini sangatlah bagus. Tetapi dalam praktik niat baik ini kenyataannya juga tetap mengarah kepada kepentingan Belanda. Kebijakan itu punya latar belakang untuk dapat mengeruk kekayaan lebih besar lagi. Kebijakan irigasi, ternyata juga hanya untuk kepentingan perkebunan Belanda. Kita tahu, Belanda memang ahli dalam bidang irigasi ini. Dam besar dibangun, saluran primer dan sekunder dibangun. Tetapi, itu semua tidak lain juga untuk kepentingan agar Belanda dapat memperoleh keuntungan besar dalam usaha perkebunannya. Kebijakan migrasi juga demikian. Banyak orang-orang Jawa yang telah dipindahkan ke daerah perkebunan karet milik Belanda, seperti ke Sumatera, bahkan banyak pula yang dipindahkan ke Suriname, dan daerah lainnya. Meski ada sedikit manfaat bagi rakyat, keuntungan besarnya tetap mengalir ke pihak Belanda. Sama halnya dengan kebijakan edukasi. Belanda akhirnya juga membuka beberapa sekolah khusus untuk kaum pribumi.

Apakah Belanda benar-benar akan mencerdaskan mereka? Oh, tidak. Tidak. Sekali-kali tidak!. Anak-anak pribumi yang disekolahkan ternyata hanya untuk kepentingan Belanda, yakni menjadi pegawai rendahan yang harus dapat mengabdi untuk kepentingan Belanda. Ada manfaatnya bagi Nusantara memang. Akhirnya, banyak tokoh perjuangan kemerdekaan yang ternyata lahir di sini. Putra Nusantara yang lulus dari pendidikan Belanda, ternyata memiliki hati nurani yang membela ibu pertiwi. Merekalah yang telah melahirkan organisasi-organisasi pembela kemerdekaan, seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian bahu-membahu dengan semua elemen perjuangan bangsa yang lainnya telah berjuang dengan gigih untuk kemerdekaan Indonesia.

Mekanisme Kelahiran Kebijakan Pendidikan

Dari kebijakan pendidikan pada zaman kolonial itu, kita dapat menarik pelajaran bahwa kelahiran kebijakan selalu melalui mekanisme sebagai berikut:

Pertama, kebijakan pendidikan merupakan kebijakan politik dan sekaligus sebagai kebijakan publik

Kebijakan pendidikan seyogyanya memang harus menjadi keputusan pihak pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di DPR. Mereka adalah wakil rakyat, yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat. Dengan demikian, terjadilah proses pro dan kontra terhadap kebijakan yang diajukan pemerintah. Kecenderungannya akan muncul kebijakan elitis atau kebijakan populis, atau perpaduan antara keduanya. Dengan argumentasinya masing-masing, para politisi akan membahas rancangan kebijakan yang diajukan oleh pemerintah dan memberikan persetujuan atau menolaknya.

Pemerintah, dalam hal ini melalui Departemennya masing-masing mengajukan kebijakan dalam Renstra yang telah disusun oleh para pejabat birokrasi dan teknokrasi. Bahkan pokja Resntra telah dibentuk untuk menyusun berbagai kebijakan pendidikan yang akan diambil untuk periode tertentu. Bahkan sebelum era otonomi daerah, acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) selalu digelar untuk memperoleh masukan yang bersifat ’bottom up” untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan rakyat banyak. Jadi, kebijakan itu juga merupakan kebijakan untuk rakyat banyak atau kebijakan publik. Mengingat proses perumusan kebijakan memang memerlukan proses yang cukup panjang, maka proses ini harus dilakukan jauh sebelum rumusan kebijakan itu dituangkan dalam dokumen resmi yang akan diluncurkan.

Kedua, kebijakan pendidikan terlahir dari pemikiran cemerlang para pejabat birokrasi dan teknokrasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan itu memang lahir dari buah pemikiran. Bahkan dari buah perenungan yang mendalam. Tetapi, karena pemikiran orang banyak biasanya akan lebih baik dari pemikiran seseorang, maka proses perumusan kebijakan biasanya dihasilkan dari kerja Kelompok Kerja, atau dari kegiatan Rapat Kerja Nasional, atau kerja keras tim ahli yang dibentuk untuk itu. Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan Malaysia telah membentuk satu Task Force untuk menyusun program ”Smart School” atau ”Sekolah Bestari”, yang sejak tahun 1997 program itu telah menjadi kenyataan.

Ketiga, kebijakan pendidikan itu memiliki arah dan tujuan yang transparan.

Sudah barang tentu, kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah sebagai kebijakan publik selalu harus dikonsultasikan dengan publik melalui uji publik yang memadai. Arah dan tujuan kebijakan itu juga harus transparan. Tidak boleh ada udang dibalik batu, seperti yang terjadi dengan kebijakan Triloginya Van Deventer tempo dulu. Sebagai kebijakan publik yang transparan, pelaksanaan kebijakan itu, bagaimana proses dan hasilnya, darimana anggaran dan untuk apa digunakan, juga harus dipertanggungjawabkan secara transparan pula. Inilah hakikat masyarakat madani yang diharapkan. Transparansi, demokratis, dan akuntabelitas pelaksanaan kebijakan pendidikan menjadi ciri utama pemerintahan yang bersih dan berwibawa di mata masyarakat.

Keempat, kebijakan pendidikan harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.

Kebijakan pendidikan harus menjadi rujukan setiap program dan kegiatan yang dirancang oleh semua jajaran di lingkungan departemen. Tidak boleh ada satu pun program dan kegiatan yang tidak bersumber dari kebijakan yang telah disepakati bersama. Bahkan, seharusnya rambu-rambu program dan kegiatan memang harus telah tampak dengan jelas dalam Renstra yang telah ditetapkan. Konsekuesni dan konsistensi pelakasanaan kebijakan tampak dalam program dan kegiatan, anggaran yang disediakan, serta pelaksanaannya. Kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi kemudian tidak disediakan anggarannya, sama saja dengan membunuh janin dalam rahim sang ibunda.

Akhir Kata

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran. Demikian penegasan James Thurber, untuk mengakhiri tulisan singkat ini. Masa lalu tidak untuk disesali, tetapi untuk dijadikan bahan pelajaran (lesson learned) untuk menatap dan menghadapi masa depan dengan penuh keberanian. Apakah kebijakan pendidikan kita dewasa ini telah dirumuskan dengan arah dan tujuan yang jelas? Kita harus dapat menilainya secara jernih, kemudian menyempurnakan jika ada kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu, sebuah tim ahli yang kuat dapat dibentuk untuk melaksanakan tugas yang berat itu. Pertanyaan tentang apakah masalah pendidikan kita sebagian disebabkan oleh mekanisme kelahiran kebijakan yang tidak on the right track, hanya tim kerja yang harus menjawabnya. Mudah-mudahan.

Tidak ada komentar: